Sabtu, 21 Juni 2014

Ijinkan Aku Memetik Piala

Post oleh : MTs YASUA | Rilis : 14.53.00 | Series :

■cerpen anak Setia Naka Andrian



Sekolahnya luput dicolek media. Ia tumbuh bersama pagi yang begitu panjang. Setiap subuh, dia bergegas mandi dan menculik ingatan tentang kehangatan atas dingin yang begitu mengerat tubuhnya. Seusai itu, ia bergegas menyiapkan seragamnya sendiri. Sambil melirik televisi hitam putih yang mengabarkan berita-berita tentang para juara yang sering mengguyurnya setiap pagi. Para juara dari sekolah-sekolah favorit yang ia impikan atas kejuaraan yang selalu berpesta. Kadang juara lomba menyanyi, menggambar, lari, hingga baca puisi dan lomba bercerita.

“Ikutilah! Lomba baca puisi siswa SMP tingkat kabupaten! Siang hari ini! Gratis! Merebukan piala bupati dan uang tunai jutaan rupiah!”

Ia langsung berpikir untuk mengikuti lomba baca puisi itu. Berpikir bagaimana cara untuk menjadi juara seperti anak-anak yang muncul di televisi setiap pagi. Namun ia juga ingat, bahwa sekolahnya sering diam, karena daerah yang begitu terpencil dan guru-gurunya yang terlalu tidak percaya kepada siswa-siswanya, juga kepadanya yang selalu dianggap lucu ketika hendak mengikuti lomba-lomba seperti yang sering mengguyur paginya dalam televisi.

“Bu, aku berangkat sekolah dulu.”

“Ya, Nak. Hati-hati. Maaf, pagi ini ibu belum juga bisa memberimu saku.”

“Tak apa, Bu. Sepiring nasi dan senyum pagi dari Ibu sudah lebih dari berlipat saku.”

“Maaf juga, Nak. Ibu juga belum bisa membelikanmu sepeda.”

“Ya, Bu. Tak apa. Kakiku masih cukup kuat berlari kencang untuk menjadi sepeda. Ibu tak usah khawatir.”

“Terimakasih, Nak. Kau sungguh anak baik. Ingat pesan Ibu, tetap menjadi sekadar Abdi Muhammad saja.”

“Ya, Bu.”

***



Perjalanannya ke sekolah cukup panjang. Setiap pukul setengah lima pagi ia sudah harus bergegas menjemput mimpi. Ia pun berangkat ke sekolah sendirian. Namun ia tetap berlari. Kencang layaknya macan yang sering ia lihat setiap pagi dari iklan biskuit di televisi. Ia pun tak pernah bersedih atau marah-marah kepada dirinya sendiri, atau mungkin kepada ibunya yang belum mampu memberi uang saku dan sepeda. Ia masih tetap berlari. Semakin kencang berlari, menyibak alang-alang dan rumput-rumput liar untuk ia sulap menjadi jalan baru menuju sekolahnya.

Lari, dan terus berlari semakin cepat. Ia tidak pernah berpikir macam-macam tentang hal-hal negatif. Entah itu tentang binatang-binatang buas atau mungkin jalan-jalan yang becek akibat hujan yang sempat mengguyur ketika musimnya. Juga ketika debu beterbangan mengalahkan embun pagi ketika terik yang begitu panas dalam kemarau yang panjang. Ia terus berlari, melewati kebun-kebun yang sepi dan rumah-rumah yang masih tidur. Ya, kebanyakan rumah-rumah itu adalah rumah-rumah teman-teman seusianya. Teman-teman sekampungnya yang kebanyakan lebih memilih ikut bapaknya ke ladang atau ke sawah untuk menguliti tanah. Mereka lebih memilih berpanen padi dan palawija daripada dipanen iuran uang sekolahan yang cukup menjerat leher ibunya setiap awal semester.

Namun ia bukan anak yang malas. Setiap pulang sekolah, setelah sampai di rumah ia membantu ibunya berkeliling kampung untuk berjualan kerupuk. Kadang dititipkan di warung-warung dan mengantar pesanan kepada warga yang sedang ada hajatan. Ia tetap semangat. Karena itulah satu-satunya yang menghidupi keluarganya. Orangtuanya tinggal satu, yakni seorang ibu saja. Bapaknya telah meninggal ketika ia baru enam bulan menghirup nafas dunia. Bapaknya dipanggil Tuhan karena sakit keras. Sanak saudara juga tak tahu entah kemana, mati dalam cerita, dan ibunya pun tak pernah menjawab yang jelas ketika ia sempat bertanya-tanya. Ia anak tunggal, satu-satunya harta ibunya sebagai anak keluarga yang kelak diharapkan menjadi penopang hidup ibunya di masa tua.

Ia tak pernah menyesal, tak pernah menangis atau marah-marah kepada Tuhan. Ia selalu semangat. Di depannya hanya cita-cita dan mimpi-mimpi yang panjang. Namun ia terus berlari untuk mendekat, walaupun kadang terjatuh-jatuh karena hujan dan panas yang kadang tak mau berkawan.

***



SMP BINA BANGSA. Akhirnya sampai juga ia di jembatan mimpi dan cita-citanya. Sekolah pinggiran yang sudah satu tahun ini menemaninya. Ia tak pernah rangking satu. Sepuluh besar pun ia tak mampu meraihnya. Tapi ibunya begitu bijaksana. Tetap ingin menyekolahkannya hingga titik darah penghabisan. Ibunya juga tak pernah menuntutnya untuk menjadi orang sukses atau orang kaya yang sering diidamkan oleh ibu-ibu pada umumnya. Pesan ibunya, “Ingat pesan Ibu, tetap menjadi sekadar Abdi Muhammad saja.”

Ia pun sesungguhnya kurang begitu paham dengan maksud perkataan ibunya. Namun ia yakin, itu adalah doa dari seorang ibu. Doa yang tak terkalahkan dan tak dapat tergantikan oleh apa pun.

***



“Abdi.”

Ia melamun. Matanya memandang jauh ke arah luas yang entah kemana.

“Abdi!” bentak Pak Ruslan, guru bahasa Indonesia di sekolahnya yang terlihat marah.

“Ya saya, Pak,” ia terbangun dari lamun yang begitu kaget.

“Kamu enak, ya? Pelajaran malah dibuat melamun! Melamun apa kamu, Abdi?” Pak Ruslan semakin marah.

“Melamun menjadi juara lomba baca puisi, Pak,”

“Juara? Memang ada seorang juara yang gemar melamun?”

Seluruh teman sekelas tertawa terbahak-bahak, mengejeknya.

“Maaf, jangan salah, Pak. Kata Albert Einstein, imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Jadi melamun yang berimajinasi itu juga penting, Pak.”

“Itu Albert Einstein, bukan Abdi Muhammad,” umpat salah seorang teman.

“Huuuuuuuuu!” serentak teman-teman menyorakiku.

“Pak, bolehkah saya ikut lomba baca puisi di kota? Siang hari ini ada lomba baca puisi siswa SMP tingkat kabupaten. Tadi pagi saya melihat beritanya di televisi.”

“Bisa apa kamu? Pelamun kok ingin ikut lomba baca puisi! Mending kamu ikut lomba melamun saja!” salah satu teman menyaut.

“Huuuuuuuuu! Huuuuuuuuu! Huuuuuuuuu!” semakin kompak teman-teman menyorakinya. Semakin keras dan semakin mengutuknya.

***



Sepulang sekolah ia langsung menuju ke kota. Ia nekat untuk ikut lomba, numpang truk pengangkut pasir yang ia tahu menuju ke kota. Ia hari ini tak langsung pulang ke rumah. Ia tak pamit kepada ibunya. Ia juga tak membantu ibunya menjual kerupuk. Dibenaknya hanya ingat dan terngiang-ngiang kata dari penyair Rendra, “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata!”

***



Sore hari ibunya cemas menunggu ia pulang. Namun setelah hampir malam, ibunya tersenyum bercampur menangis terharu ketika melihatnya di televisi mengangkat piala juara satu lomba baca puisi. Guru-guru dan teman-temannya juga menyaksikannya di televisi. Ia menangis ketika diwawancarai wartawan, “Abdi, kemenanganmu kali ini hendak kau persembahkan untuk siapa?”

“Ini kuhadiahkan untuk ibuku, guru-guruku dan teman-teman sekolahku, untuk SMP BINA BANGSA!”

“Lalu hadiah uang tunai lima juta rupiah ini mau kau buat apa?”

“Akan kuberikan untuk ibu, biar bisa buat modal meningkatkan usaha kerupuk. Agar ibu bisa memberiku saku setiap pagi, dan juga kelak aku akan dibelikan sepeda. Agar tak perlu lagi berlari kencang untuk ke sekolah. Namun masih tetap berlari kencang untuk mengejar mimpi dan cita-cita!”



sanggargema, juli 2012

google+

linkedin