■cerpen anak Setia Naka Andrian
Sekolahnya
luput dicolek media. Ia tumbuh bersama pagi yang begitu panjang. Setiap subuh, dia
bergegas mandi dan menculik ingatan tentang kehangatan atas dingin yang begitu
mengerat tubuhnya. Seusai itu, ia bergegas menyiapkan seragamnya sendiri.
Sambil melirik televisi hitam putih yang mengabarkan berita-berita tentang para
juara yang sering mengguyurnya setiap pagi. Para juara dari sekolah-sekolah favorit
yang ia impikan atas kejuaraan yang selalu berpesta. Kadang juara lomba menyanyi,
menggambar, lari, hingga baca puisi dan lomba bercerita.
“Ikutilah!
Lomba baca puisi siswa SMP tingkat kabupaten! Siang hari ini! Gratis! Merebukan
piala bupati dan uang tunai jutaan rupiah!”
Ia langsung
berpikir untuk mengikuti lomba baca puisi itu. Berpikir bagaimana cara untuk
menjadi juara seperti anak-anak yang muncul di televisi setiap pagi. Namun ia
juga ingat, bahwa sekolahnya sering diam, karena daerah yang begitu terpencil
dan guru-gurunya yang terlalu tidak percaya kepada siswa-siswanya, juga kepadanya
yang selalu dianggap lucu ketika hendak mengikuti lomba-lomba seperti yang
sering mengguyur paginya dalam televisi.
“Bu, aku
berangkat sekolah dulu.”
“Ya, Nak.
Hati-hati. Maaf, pagi ini ibu belum juga bisa memberimu saku.”
“Tak apa, Bu.
Sepiring nasi dan senyum pagi dari Ibu sudah lebih dari berlipat saku.”
“Maaf juga,
Nak. Ibu juga belum bisa membelikanmu sepeda.”
“Ya, Bu. Tak
apa. Kakiku masih cukup kuat berlari kencang untuk menjadi sepeda. Ibu tak usah
khawatir.”
“Terimakasih,
Nak. Kau sungguh anak baik. Ingat pesan Ibu, tetap menjadi sekadar Abdi Muhammad
saja.”
“Ya, Bu.”
***
Perjalanannya
ke sekolah cukup panjang. Setiap pukul setengah lima pagi ia sudah harus
bergegas menjemput mimpi. Ia pun berangkat ke sekolah sendirian. Namun ia tetap
berlari. Kencang layaknya macan yang sering ia lihat setiap pagi dari iklan biskuit
di televisi. Ia pun tak pernah bersedih atau marah-marah kepada dirinya sendiri,
atau mungkin kepada ibunya yang belum mampu memberi uang saku dan sepeda. Ia
masih tetap berlari. Semakin kencang berlari, menyibak alang-alang dan
rumput-rumput liar untuk ia sulap menjadi jalan baru menuju sekolahnya.
Lari, dan
terus berlari semakin cepat. Ia tidak pernah berpikir macam-macam tentang
hal-hal negatif. Entah itu tentang binatang-binatang buas atau mungkin
jalan-jalan yang becek akibat hujan yang sempat mengguyur ketika musimnya. Juga
ketika debu beterbangan mengalahkan embun pagi ketika terik yang begitu panas
dalam kemarau yang panjang. Ia terus berlari, melewati kebun-kebun yang sepi dan
rumah-rumah yang masih tidur. Ya, kebanyakan rumah-rumah itu adalah rumah-rumah
teman-teman seusianya. Teman-teman sekampungnya yang kebanyakan lebih memilih
ikut bapaknya ke ladang atau ke sawah untuk menguliti tanah. Mereka lebih
memilih berpanen padi dan palawija daripada dipanen iuran uang sekolahan yang
cukup menjerat leher ibunya setiap awal semester.
Namun ia
bukan anak yang malas. Setiap pulang sekolah, setelah sampai di rumah ia
membantu ibunya berkeliling kampung untuk berjualan kerupuk. Kadang dititipkan
di warung-warung dan mengantar pesanan kepada warga yang sedang ada hajatan. Ia
tetap semangat. Karena itulah satu-satunya yang menghidupi keluarganya.
Orangtuanya tinggal satu, yakni seorang ibu saja. Bapaknya telah meninggal
ketika ia baru enam bulan menghirup nafas dunia. Bapaknya dipanggil Tuhan
karena sakit keras. Sanak saudara juga tak tahu entah kemana, mati dalam cerita,
dan ibunya pun tak pernah menjawab yang jelas ketika ia sempat bertanya-tanya. Ia
anak tunggal, satu-satunya harta ibunya sebagai anak keluarga yang kelak
diharapkan menjadi penopang hidup ibunya di masa tua.
Ia tak pernah
menyesal, tak pernah menangis atau marah-marah kepada Tuhan. Ia selalu
semangat. Di depannya hanya cita-cita dan mimpi-mimpi yang panjang. Namun ia
terus berlari untuk mendekat, walaupun kadang terjatuh-jatuh karena hujan dan
panas yang kadang tak mau berkawan.
***
SMP BINA
BANGSA. Akhirnya sampai juga ia di jembatan mimpi dan cita-citanya. Sekolah
pinggiran yang sudah satu tahun ini menemaninya. Ia tak pernah rangking satu.
Sepuluh besar pun ia tak mampu meraihnya. Tapi ibunya begitu bijaksana. Tetap
ingin menyekolahkannya hingga titik darah penghabisan. Ibunya juga tak pernah
menuntutnya untuk menjadi orang sukses atau orang kaya yang sering diidamkan
oleh ibu-ibu pada umumnya. Pesan ibunya, “Ingat pesan Ibu, tetap menjadi
sekadar Abdi Muhammad saja.”
Ia pun
sesungguhnya kurang begitu paham dengan maksud perkataan ibunya. Namun ia
yakin, itu adalah doa dari seorang ibu. Doa yang tak terkalahkan dan tak dapat
tergantikan oleh apa pun.
***
“Abdi.”
Ia melamun.
Matanya memandang jauh ke arah luas yang entah kemana.
“Abdi!”
bentak Pak Ruslan, guru bahasa Indonesia di sekolahnya yang terlihat marah.
“Ya saya,
Pak,” ia terbangun dari lamun yang begitu kaget.
“Kamu enak,
ya? Pelajaran malah dibuat melamun! Melamun apa kamu, Abdi?” Pak Ruslan semakin
marah.
“Melamun menjadi
juara lomba baca puisi, Pak,”
“Juara?
Memang ada seorang juara yang gemar melamun?”
Seluruh teman
sekelas tertawa terbahak-bahak, mengejeknya.
“Maaf, jangan
salah, Pak. Kata Albert Einstein, imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.
Jadi melamun yang berimajinasi itu juga penting, Pak.”
“Itu Albert
Einstein, bukan Abdi Muhammad,” umpat salah seorang teman.
“Huuuuuuuuu!”
serentak teman-teman menyorakiku.
“Pak,
bolehkah saya ikut lomba baca puisi di kota? Siang hari ini ada lomba baca
puisi siswa SMP tingkat kabupaten. Tadi pagi saya melihat beritanya di televisi.”
“Bisa apa
kamu? Pelamun kok ingin ikut lomba baca puisi! Mending kamu ikut lomba melamun
saja!” salah satu teman menyaut.
“Huuuuuuuuu!
Huuuuuuuuu! Huuuuuuuuu!” semakin kompak teman-teman menyorakinya. Semakin keras
dan semakin mengutuknya.
***
Sepulang
sekolah ia langsung menuju ke kota. Ia nekat untuk ikut lomba, numpang truk
pengangkut pasir yang ia tahu menuju ke kota. Ia hari ini tak langsung pulang
ke rumah. Ia tak pamit kepada ibunya. Ia juga tak membantu ibunya menjual
kerupuk. Dibenaknya hanya ingat dan terngiang-ngiang kata dari penyair Rendra, “Perjuangan
adalah pelaksanaan kata-kata!”
***
Sore hari
ibunya cemas menunggu ia pulang. Namun setelah hampir malam, ibunya tersenyum
bercampur menangis terharu ketika melihatnya di televisi mengangkat piala juara
satu lomba baca puisi. Guru-guru dan teman-temannya juga menyaksikannya di
televisi. Ia menangis ketika diwawancarai wartawan, “Abdi, kemenanganmu kali
ini hendak kau persembahkan untuk siapa?”
“Ini
kuhadiahkan untuk ibuku, guru-guruku dan teman-teman sekolahku, untuk SMP BINA
BANGSA!”
“Lalu hadiah
uang tunai lima juta rupiah ini mau kau buat apa?”
“Akan kuberikan
untuk ibu, biar bisa buat modal meningkatkan usaha kerupuk. Agar ibu bisa
memberiku saku setiap pagi, dan juga kelak aku akan dibelikan sepeda. Agar tak
perlu lagi berlari kencang untuk ke sekolah. Namun masih tetap berlari kencang
untuk mengejar mimpi dan cita-cita!”
sanggargema,
juli 2012