Cacingan. Mungkin itulah perkataan pertama
ketika melihat bocah ini. Anak perempuan yang gemar memainkan pusarnya. Ia melakukan itu bukan karena gatal, tapi karena alasan
lain yang sulit diketahui. Kejanggalan tercium harum ketika tidak terlihat
gejala yang menyerupai gatal atau apalah
istilah penyakit kulit lainya.
Jembling. Itulah nama panggilannya
sehari-hari. Gadis cilik yang pendiam ini memiliki keanehan bentuk pada
perutnya. Tak seperti teman-teman sebayanya, perut gadis cilik ini terlihat
agak sedikit besar dan membuncit. Maka dari itulah orang-orang di sekitarnya
memanggil namanya dengan sebutan si-Jembling. Tak marah, tak sakit hati, bahkan
tak peduli. Hal itu terlihat diwajah datarnya ketika teman-teman sebayanya
memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Apakah itu nama asli? (tik,tok,tik,tok. Sambil berfikir) tentu saja tidak…! Nama aslinya adalah
Rusmini. Bocah perempuan yang kebetulan mengalami kelahiran tak wajar ini sebenarnya tidak diinginkan kelahirannya oleh ayah dan ibunya.
Keanehan si Jembling ini muncul ketika masih
di dalam kandungan. Usia kandungan yang mencapai 15 bulan, (waw…! Lama ya..?) ukuran perut kehamilan yang sangat besar, dan yang lebih aneh ketika
malam hari pasti perut Dirjah saat mengandung si Jembling ini mengeluarkan
aroma bangkai yang sangat menyengat. Segala pengobatan sudah ditempuh. Siapapun
tak bisa tahu apa yang menimpa kehamilan itu. Bahkan sampai kedua orang tuanya
mencoba menggugurkan kandungan beberapa
kali. Nihil tanpa hasil, itulah ending akhirnya.
Kini si Jembling sudah kelas dua SMP.
Kebiasaan mengelus pusarnya itu tidak berkurang bahkan malah bisa dibilang
semakin menjadi-jadi. Tak malu, ketika ia harus melakukan kebiasaan itu di
depan guru dan teman-temannya. Bahkan ia sampai rela selalu menyendiri demi untuk menikmati kebiasaan itu.
Teman-temannya agak sedikit memaklumi walau
tak jarang mereka menggunjing anjing karena merasa risih.
Tak ada teman-temannya yang berani berkomentar di depannya. Mereka
takut kalau Jembling ini marah. Minggu kemarin ia habis mencakar dan
menggigit telinga guru Bahasa Indonesianya sampai putus. Bahkan ia menjilati
darah yang berceceran di atas lantai saat itu. Kejadian itu berawal ketika ia ditegur agar tidak melakukan
kebiasaan mengelus pusarnya. Apakah ia langsung dikeluarkan? (sedang
berpikir lama)Jawabanya, Tidak. Tak ada yang berani mengeluarkan ia dari sekolah,
bahkan kepala sekolah pun dipastikan tak akan berani menegur.
Dulu ketika Si Jembling duduk di sekolah
dasar ia pernah dikeluarkan karena pernah menggigit jempol temanya sampai putus
sebelum kemudian memakannya. Kepala sekolah yang saat itu mengeluarkannya
tiba-tiba mati dengan kondisi perut yang tiba-tiba membesar dan meledak.
prasangka pun bermunculan. Ada yang menyangka kematiannya disebabkan karena hewan buas, dan ada pula yang
berprasangka kematian kepala sekolah tersebut karena disantet oleh ayah si
Jembling yang dulunya pernah berprofesi sebagai dukun.( ehem..
ingat sekali lagi itu hanya prasangka!)
Keanehan bermunculan
. Banyak yang berasumsi keanehannya itu akibat dari karma yang telah dilakukan ayahnya yang bernama Jarwono.
Lelaki yang berwajah brewokan dan suka berpakaian hitam ini dulunya memang terkenal
sebagai dukun berdarah dingin yang sadis dan sakti. Bahkan ia tak segan
menghabisi nyawa seseorang melalui ilmu santetnya hanya demi mendapatkan
sedikit mahar dari pasiennya. Namun
sekarang ada yang mengatakan kalau ia sudah berhenti menjalani profesi jahanam
itu.
*******
Si Jumbling.(maaf salah
ketik, maksudnya si Jembling. jangan diketawain!) Ia terlahir sesudah ibunya
meninggal. Bocah perempuan berwajah seram, berambut panjang dan mempunyai gigi
berkerak hitam itu terlahir sesudah ibunya tak bernyawa karena bunuh diri.
Mungkin karena depresi yang
berkepanjangan.
Banyak yang mengatakan kalau ibunya bunuh diri karena tak kuat
menahan sakit, malu karena menunggu kelahiran si Jembling yang sampai lima belas bulan. Namun
ketika mayat ibunya hendak dikubur, tiba-tiba terlihat bayi yang merangkak dari
dalam liang lahat. Orang-orang pada lari tunggang langgang karena ketakutan
tanpa memperdulikan mayat Dirjah yang masih tergletak di liang lahat dan belum
sempat ditutupi tanah. Itulah keanehan yang mustahil, tapi memang benar-benar
terjadi di kampun kami.
Ia hidup dengan Jarwono ayahnya yang terlihat
setengah hati merawatnya. Namun sang ayah selalu berusaha untuk menuruti
keanehan putri kandungnya itu. Dia adalah satu-satunya orang yang ditakuti oleh
Jembling putrinya. Bahkan tak jarang si Jembling ini dibentak, dan dipukul oleh ayahnya denga
keras. Mungkin Pola asuh yang salah juga merupakan salah satu alasan kenapa si-Jembling
ini bersikap lain dengan teman – teman sebayannya.
Keanehan semakin menjadi-jadi. Banyak
tetangga yang tak sengaja melihat si jumbling ini mencoba menangkap anak ayam
milik tetangga sebelah rumahnya sebelum kemudian memakannya mentah-mentah.
“untuk apa kamu menangkap ayam-ayam itu
mbling…?” Tegur salah satu tetangga yang kebetulan memergokinya sedang
menenteng anak ayam yang sudah mati. Tapi tak terdengar sautan suara. Dan bibirnya pun tak terlihat menanggapi degan gerak bicara. Sorot
matanya lurus kosong tanpa kedip. Hanya tangan kirinya yang terlihat sedang
mengelus asik pusarnya. Tetangga yang
menegur itu hanya bergumam tak merespon panjang kebiasaan yang sebenarnya sudah
diketahui tetangga sekitar.
**********
Kampung kami panik. Warga kami benar-benar terkena musibah. Kami kebingungan. Apa yang sedang menimpa kampung kami saat
ini? Hampir setiap hari kami harus menggotong dan memakamkan tetanga kami yang
tiba-tiba tak bernyawa. Satu persatu orang-orang dikampung kami meninggal tanpa
diketahui apa penyebabnya.
Malam itu langit tak menampakkan bintangnya, kabut tebal membungkus duka kami yang penuh amarah. Tak jarang kadang terdengar suara anjing yang menggonggong di kejauhan hutan. Tiba-tiba, terdengar teriakan meminta tolong dari salah satu rumah warga. Kami yang sedang berjaga di pos kampling dengan pak Lurah pun bergegas menuju ke arah teriakan. Sesampainya disana, kami disuguhkan pemandangan yang sangat mengerikan. Tetangga kami terlihat tergletak tak bernyawa bersimbah darah dengan kondisi isi perut yang tak utuh.
Ini adalah kematian yang ke lima belas di kampung
kami. Kami masih menerka-nerka apa yang sedang terjadi dikampung kami. Binatang
buas jelas tak mungkin melakukan ini. Hanya Memakan isi perut dan membiarkan
organ tubuh lain utuh.
“ini pasti pebuatan Jarwono dan Putrinya”
cetus tanpa bukti oleh salah satu warga yang sedang berdiri di depan rumah
kepala desa sambil memegang erat oncor di tangan kirinya. Teriakan salah satu warga kami itu pun
disambut benar oleh beberapa warga lain yang berada di belakangnya.
“ Bakar saja rumahnya. Bunuh mereka berdua”
teriak beberapa warga sembari memecah dinginnya malam dan gerimis halus yang
terlihat membasahi jidat mereka.
“ Sabar, sabar saudar-saudara. Kita harus
membahas ini dengan kepala dingin. Tidak baik kalau kita menuduh tanpa adanya
bukti yang nyata.” Terang lurah sambil berdiri di depan pintu menghadap
warganya. Kerutan jidat seluruh warga seolah menggambar pasti tentang ketidak
setujuan mereka terhadap perkataan lurah mereka.
Perdebatan telah mengusik suasana malam itu.
Langit yang gelap seolah sedang berusaha memberikan jawabannya. Kami hanya diam
mendengar perdebatan yang tiada henti antara warga dan kepala desa kami yang
berusaha untuk mencegah perbuatan hakim sendiri.
“kalau bapak lurah tak berani, biar kami saja
yang menghabisi mereka, ayo.. kita bakar rumah mereka.” Pekik salah satu warga
sekaligus menjadi terompet genderang amarah pada malam itu.
“kalian belum ada bukti, ini belum pasti”
saran agak putus asa yang kembali terlontar dari bibir hitamnya (bibir
hitam : perokok. Tapi apakah itu jawaban pasti…???)ke warga
yang berlahan sudah melangkah jauh dari hadapannya.
Warga pun berbondong-bondong mendatangi rumah
gubug milik Jarwono dan Si Jembling anaknya. Dengan masing-masing warga membawa
obor, seolah mereka membawa pedang untuk bertempur di medan perang. Meraka siap
membunauh, membantai , dan membakar rumah Jarwono dan putrinya.
“Bakar rumahnya. Bunuh mereka..!” teriak
warga kompak yang tanpa memerlukan komando panglima.
“Sedang
apa kalian ini. Apa salah kami?” teriak Jarwono sambil memeluk putrinya yang terlihat
sayu karena baru terbangun dari tidurnya.
“jangan pura-pura tidak tahu. Kalianlah yang
menyebabkan kampung ini sangkak(Sial). Jangan kira kami tidak tahu tentang
kelakuan aneh putrimu. Kamu pasti membunuh warga karena ingin memuaskan nafsu
putrimu. Dan memberikan isi perut warga kami yang mati kepadannya.” Sembari
menunjuk jahat kearah mata Si Jembling.
“Jangan banyak bicara, mari kita bakar saja
rumah ini…!” tanpa memberikan kesempatan Jarwono untuk bicara.
Terlihat beberapa pemuda kuat memegang dan
mengikat Jarwono dan si Jembling, sebelum mereka memukulinya dengan beberapa
batang kayu hingga mereka tak berdaya.
“Masukkan mereka kedua kedalam rumah.”
“tolong, ampuni kami, kami tak bersalah,
tolong jangan bunuh anakku. Kalau kalian ingin membunuh, bunuhlah aku, ” pinta
jarwono penuh iba dan air mata. Namun ekspresi tampak lain di wajah
si-Jembling. Dia hanya menatap tajam tanpa takut dan hannya wajah datar yang terlihat penuh misteri.
Obor telah dilempar di atas rumah yang
atapnya terbuat dari jerami kering. Tak butuh waktu lama kobaran kemurkaan
melalap rumah itu beserta pemiliknya. Sudah taka da teriakan, jeritan yang
menjadi genderang pada malam itu. Suma lenyap seiring asap yang membumbung dan
api yang mulai memadam.
Semua warga berbondong pulang dengan rasa
hati puas tanpa dosa. Tak jarang umpatan,umpatan kecil masih mengiringi perjalanan mereka kerumah
masing-masing.
********
Berhari-hari. Bahkan berminggu-minggu. Kampung
kami terasa sepi. Bahkan terasa mati. Kami tak tahu apa yang sudah kami
lakukan, benarkah langkahnya atau memang salah kaprah, itu merupakan tanda
Tanya yang selalu muncul di dalam kepala semua warga desa kami.
Malam pun masih enggan menampakkan
bintangnya, kabut tebal membungkus duka kami yang penuh amarah. Saat orang –
orang lelap tertidur kami seperti biasa melakukan kegiatan jaga malam di ronda
sembari menghirup dinginnya embun malam ini. Tiba-tiba kami kembali dikagetkan
dengan teriakan seseorang yang tidak kami harapkan. Teriakan itu terdengar dari salah
satu rumah tetangga kami. Kami bertiga yang mendengar teriakan keras tersebut
serentak melotot, saling memandang heran tanpa ekspresi.
Gubug
Sastra, Agustus 2014
Muthohar,S,Pd.
Terlahir di Demak . Pernah belajar di
IKIP PGRI Semarang.
Tergabung
dalam Solideritas Pecinta Sastra Demak.
Warga
Sanggar teater Gema Semarang.