Kamis, 28 Agustus 2014

'TRAGEDI BOCAH JEMBLING'

Post oleh : MTs YASUA | Rilis : 11.16.00 | Series :



Cacingan. Mungkin itulah perkataan pertama ketika melihat bocah ini. Anak perempuan yang gemar memainkan pusarnya. Ia  melakukan itu bukan karena gatal, tapi karena alasan lain yang sulit diketahui. Kejanggalan tercium harum ketika tidak terlihat gejala yang  menyerupai gatal atau apalah istilah penyakit kulit lainya.

Jembling. Itulah nama panggilannya sehari-hari. Gadis cilik yang pendiam ini memiliki keanehan bentuk pada perutnya. Tak seperti teman-teman sebayanya, perut gadis cilik ini terlihat agak sedikit besar dan membuncit. Maka dari itulah orang-orang di sekitarnya memanggil namanya dengan sebutan si-Jembling. Tak marah, tak sakit hati, bahkan tak peduli. Hal itu terlihat diwajah datarnya ketika teman-teman sebayanya memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Apakah itu nama asli? (tik,tok,tik,tok.  Sambil berfikir) tentu saja tidak…! Nama aslinya adalah Rusmini. Bocah perempuan yang kebetulan mengalami kelahiran tak wajar ini  sebenarnya tidak diinginkan kelahirannya  oleh ayah dan ibunya. 

Keanehan si Jembling ini muncul ketika masih di dalam kandungan. Usia kandungan yang mencapai 15 bulan, (waw…! Lama ya..?) ukuran perut kehamilan  yang sangat besar, dan yang lebih aneh ketika malam hari pasti perut Dirjah saat mengandung si Jembling ini mengeluarkan aroma bangkai yang sangat menyengat. Segala pengobatan sudah ditempuh. Siapapun tak bisa tahu apa yang menimpa kehamilan itu. Bahkan sampai kedua orang tuanya mencoba menggugurkan kandungan  beberapa kali. Nihil tanpa hasil, itulah ending akhirnya.

Kini si Jembling sudah kelas dua SMP. Kebiasaan mengelus pusarnya itu tidak berkurang bahkan malah bisa dibilang semakin menjadi-jadi. Tak malu, ketika ia harus melakukan kebiasaan itu di depan guru dan teman-temannya. Bahkan ia sampai rela selalu menyendiri  demi untuk menikmati kebiasaan itu. Teman-temannya agak sedikit  memaklumi walau tak jarang mereka menggunjing anjing karena merasa risih.

Tak ada teman-temannya  yang berani berkomentar di depannya. Mereka takut kalau Jembling ini marah. Minggu kemarin ia habis mencakar dan menggigit telinga guru Bahasa Indonesianya sampai putus. Bahkan ia menjilati darah yang berceceran di atas lantai saat itu. Kejadian itu berawal  ketika ia ditegur agar tidak melakukan kebiasaan mengelus pusarnya. Apakah ia langsung dikeluarkan? (sedang berpikir lama)Jawabanya, Tidak. Tak ada yang berani mengeluarkan ia dari sekolah, bahkan kepala sekolah pun dipastikan tak akan berani menegur. 

Dulu ketika Si Jembling duduk di sekolah dasar ia pernah dikeluarkan karena  pernah menggigit jempol temanya sampai putus sebelum kemudian memakannya. Kepala sekolah yang saat itu mengeluarkannya tiba-tiba mati dengan kondisi perut yang tiba-tiba membesar dan meledak. prasangka pun bermunculan. Ada yang menyangka kematiannya disebabkan  karena hewan buas, dan ada pula yang berprasangka kematian kepala sekolah tersebut karena disantet oleh ayah si Jembling yang dulunya pernah berprofesi sebagai dukun.( ehem.. ingat sekali lagi itu hanya prasangka!)

Keanehan bermunculan . Banyak yang berasumsi keanehannya itu akibat dari karma yang telah  dilakukan ayahnya yang bernama Jarwono. Lelaki yang berwajah brewokan dan suka berpakaian hitam ini dulunya memang terkenal sebagai dukun berdarah dingin yang sadis dan sakti. Bahkan ia tak segan menghabisi nyawa seseorang melalui ilmu santetnya hanya demi mendapatkan sedikit mahar   dari pasiennya. Namun sekarang ada yang mengatakan kalau ia sudah berhenti menjalani profesi jahanam itu.
*******
Si Jumbling.(maaf salah ketik, maksudnya si Jembling. jangan diketawain!) Ia  terlahir sesudah ibunya meninggal. Bocah perempuan berwajah seram, berambut panjang dan mempunyai gigi berkerak hitam itu terlahir sesudah ibunya tak bernyawa karena bunuh diri. Mungkin  karena depresi yang berkepanjangan. 

Banyak yang mengatakan kalau ibunya bunuh diri karena tak kuat menahan sakit, malu karena menunggu kelahiran si  Jembling yang sampai lima belas bulan. Namun ketika mayat ibunya hendak dikubur, tiba-tiba terlihat bayi yang merangkak dari dalam liang lahat. Orang-orang pada lari tunggang langgang karena ketakutan tanpa memperdulikan mayat Dirjah yang masih tergletak di liang lahat dan belum sempat ditutupi tanah. Itulah keanehan yang mustahil, tapi memang benar-benar terjadi di kampun kami.

Ia hidup dengan Jarwono ayahnya yang terlihat setengah hati merawatnya. Namun sang ayah selalu berusaha untuk menuruti keanehan putri kandungnya itu. Dia adalah satu-satunya orang yang ditakuti oleh Jembling putrinya. Bahkan tak jarang si Jembling ini  dibentak, dan dipukul oleh ayahnya denga keras. Mungkin Pola asuh yang salah juga merupakan salah satu alasan kenapa si-Jembling ini bersikap lain dengan teman – teman sebayannya.

Keanehan semakin menjadi-jadi. Banyak tetangga yang tak sengaja melihat si jumbling ini mencoba menangkap anak ayam milik tetangga sebelah rumahnya sebelum kemudian memakannya mentah-mentah.
“untuk apa kamu menangkap ayam-ayam itu mbling…?” Tegur salah satu tetangga yang kebetulan memergokinya sedang menenteng anak ayam yang sudah mati. Tapi tak terdengar sautan suara.  Dan bibirnya pun tak  terlihat menanggapi degan gerak bicara. Sorot matanya lurus kosong tanpa kedip. Hanya tangan kirinya yang terlihat sedang mengelus asik pusarnya.  Tetangga yang menegur itu hanya bergumam tak merespon panjang kebiasaan yang sebenarnya sudah diketahui tetangga sekitar. 

********** 
Kampung kami panik.  Warga kami benar-benar terkena musibah. Kami kebingungan.  Apa yang sedang menimpa kampung kami saat ini? Hampir setiap hari kami harus menggotong dan memakamkan tetanga kami yang tiba-tiba tak bernyawa. Satu persatu orang-orang dikampung kami meninggal tanpa diketahui apa penyebabnya.

Malam itu langit tak menampakkan bintangnya, kabut tebal membungkus duka kami yang penuh amarah. Tak jarang kadang terdengar suara anjing yang menggonggong di kejauhan hutan.  Tiba-tiba, terdengar teriakan meminta tolong dari salah satu rumah warga. Kami yang sedang berjaga di pos kampling dengan pak Lurah pun bergegas menuju ke arah teriakan. Sesampainya disana, kami disuguhkan pemandangan yang  sangat mengerikan. Tetangga kami terlihat tergletak tak bernyawa bersimbah darah dengan kondisi isi perut yang tak utuh.
Ini adalah kematian yang ke lima belas di kampung kami. Kami masih menerka-nerka apa yang sedang terjadi dikampung kami. Binatang buas jelas tak mungkin melakukan ini. Hanya Memakan isi perut dan membiarkan organ tubuh lain utuh.
“ini pasti pebuatan Jarwono dan Putrinya” cetus tanpa bukti oleh salah satu warga yang sedang berdiri di depan rumah kepala desa sambil memegang erat oncor di tangan kirinya.  Teriakan salah satu warga kami itu pun disambut benar oleh beberapa warga lain yang berada di belakangnya.
“ Bakar saja rumahnya. Bunuh mereka berdua” teriak beberapa warga sembari memecah dinginnya malam dan gerimis halus yang terlihat membasahi jidat mereka.
“ Sabar, sabar saudar-saudara. Kita harus membahas ini dengan kepala dingin. Tidak baik kalau kita menuduh tanpa adanya bukti yang nyata.” Terang lurah sambil berdiri di depan pintu menghadap warganya. Kerutan jidat seluruh warga seolah menggambar pasti tentang ketidak setujuan mereka terhadap perkataan lurah mereka.

Perdebatan telah mengusik suasana malam itu. Langit yang gelap seolah sedang berusaha memberikan jawabannya. Kami hanya diam mendengar perdebatan yang tiada henti antara warga dan kepala desa kami yang berusaha untuk mencegah perbuatan hakim sendiri.
“kalau bapak lurah tak berani, biar kami saja yang menghabisi mereka, ayo.. kita bakar rumah mereka.” Pekik salah satu warga sekaligus menjadi terompet genderang amarah pada malam itu.
“kalian belum ada bukti, ini belum pasti” saran agak putus asa yang kembali terlontar dari bibir hitamnya (bibir hitam : perokok. Tapi apakah itu jawaban pasti…???)ke warga yang berlahan sudah melangkah jauh dari hadapannya.
Warga pun berbondong-bondong mendatangi rumah gubug milik Jarwono dan Si Jembling anaknya. Dengan masing-masing warga membawa obor, seolah mereka membawa pedang untuk bertempur di medan perang. Meraka siap membunauh, membantai , dan membakar rumah Jarwono dan putrinya.
“Bakar rumahnya. Bunuh mereka..!” teriak warga kompak yang tanpa memerlukan komando panglima.
 “Sedang apa kalian ini. Apa salah kami?” teriak Jarwono sambil memeluk putrinya yang terlihat sayu karena baru terbangun dari tidurnya.
“jangan pura-pura tidak tahu. Kalianlah yang menyebabkan kampung ini sangkak(Sial). Jangan kira kami tidak tahu tentang kelakuan aneh putrimu. Kamu pasti membunuh warga karena ingin memuaskan nafsu putrimu. Dan memberikan isi perut warga kami yang mati kepadannya.” Sembari menunjuk jahat kearah mata Si Jembling.
“Jangan banyak bicara, mari kita bakar saja rumah ini…!” tanpa memberikan kesempatan Jarwono untuk bicara.

Terlihat beberapa pemuda kuat memegang dan mengikat Jarwono dan si Jembling, sebelum mereka memukulinya dengan beberapa batang kayu hingga mereka tak berdaya.
“Masukkan mereka kedua kedalam rumah.”
“tolong, ampuni kami, kami tak bersalah, tolong jangan bunuh anakku. Kalau kalian ingin membunuh, bunuhlah aku, ” pinta jarwono penuh iba dan air mata. Namun ekspresi tampak lain di wajah si-Jembling. Dia hanya menatap tajam tanpa takut dan hannya wajah datar  yang terlihat penuh misteri.
Obor telah dilempar di atas rumah yang atapnya terbuat dari jerami kering. Tak butuh waktu lama kobaran kemurkaan melalap rumah itu beserta pemiliknya. Sudah taka da teriakan, jeritan yang menjadi genderang pada malam itu. Suma lenyap seiring asap yang membumbung dan api yang mulai memadam.
Semua warga berbondong pulang dengan rasa hati puas tanpa dosa. Tak jarang umpatan,umpatan kecil  masih mengiringi perjalanan mereka kerumah masing-masing.

********   
  
Berhari-hari. Bahkan berminggu-minggu. Kampung kami terasa sepi. Bahkan terasa mati. Kami tak tahu apa yang sudah kami lakukan, benarkah langkahnya atau memang salah kaprah, itu merupakan tanda Tanya yang selalu muncul di dalam kepala semua warga desa kami.
Malam pun masih enggan menampakkan bintangnya, kabut tebal membungkus duka kami yang penuh amarah. Saat orang – orang lelap tertidur kami seperti biasa melakukan kegiatan jaga malam di ronda sembari menghirup dinginnya embun malam ini. Tiba-tiba kami kembali dikagetkan dengan teriakan seseorang yang tidak kami harapkan. Teriakan itu terdengar dari salah satu rumah tetangga kami. Kami bertiga yang mendengar teriakan keras tersebut serentak melotot, saling memandang heran tanpa ekspresi.

Gubug Sastra, Agustus 2014

Muthohar,S,Pd. Terlahir di Demak .  Pernah belajar di IKIP PGRI Semarang.
Tergabung dalam Solideritas Pecinta Sastra Demak.
Warga Sanggar teater Gema Semarang.









google+

linkedin